Minggu, 26 Juli 2009

Pelarian yang lama

Hari makin berganti, burung- burungpun tlah menjauh berlabuh menelesuri angin- angin yang tak berakar, gejolak bencana datang silih berganti, para khalifah yang lalai terus dihujam masalah demi masalah, nahkoda dalam tubuh meronta- meronta menusuk tiap jiwa yang tergoda nafsu dunia. Berjuta setan berkeliaran di kala malam datang, terus mengoyak- ngoyak hati yang berlapis iman, maksiat menyertai tiap detik hidup manusia, tanpa henti terus merasuki jiwa-jiwa yang bersih.
Sudah sebulan Kamal meninggalkan rumah, kerinduan dari sang bunda telah tergambar dalam kesehariannya. Kulitnya sudah tak setarik dulu, rambut putih yang menyusup keluar dari jilbab kuning yang dikenakannya menandakan dia sudah tak pernah berbenah diri lagi. Sesekali dia menguap sambil memikir nasib sial yang menimpanya, penyesalan dalam jiwa terus berkecamuk, namun waktu tak akan pernah kembali, meski air mata terus mendanau, hingga ampunan-Nya datang.
Tak terasa hari kembali gelap, Mak Imah langsung mengikat kayu- kayu yang akan dibawanya ke pasar untuk dijual esok harinya. Tak lama berselang hujanpun turun, Mak Imah langsung membenah kayu- kayunya. Suara adzan magrib telah berkumandang di seluruh penjuru. Mak Imah tlah bersiap- siap untuk solad magrib,“allahuakbar” Mak Imah mengerjakan takbiratul ihram. “Mak, mak, kamil mak,.. “ terdengar suara orang memanggil Mak Imah dari luar, pintu terus diketuk dari tadi, namun tak ada balasan.
Dengan tergepoh- gepohnya Mak Imah menuju sumber suara, dua orang telah menanti di luar, “ada apa?” nafasnya terengah- engah, “kamil mak… kamil”,
“kenapa sama si kamil??? tu anak kenapa…….??“ nafas Mak Imah terasa sesak.
“Dia lagi dicari polisi mak!!”seru kosim dan ruslan serentak. Mak Imah langsung pingsan di depan mereka. “gimana ni sim?”.
“kita angkat saja ke dalam, kamu angkat kakinya biar aku angkat tubuhnya” seru kosim setengah bingung.

ﭐﭵﮧ
Kamil masih bingung apa yang sedang menimpanya. Semua teman- temannya kini tak seorangpun membantunya mereka kabur entah kemana, tinggal lah dia seorang diri menghadapi amukan polisi. Kamil telah menjadi bulan- , namun semangat juang masih menyala, mengungkapkan fakta yang sebenarnya terjadi, hingga dia terbebas dari jeratan hukum yang tengah memenggal lehernya.
“ngelamun aja lo” tegur Pitung sambil menepuk pundak Kamil.
“nggak ah, biasa aja” seru kamil sambil mengisap
rokok kedua yang baru dibelinya di kios Pitung. “kalau ada masalah cerita aja, kagak perlu ditutupin mil” sahut bang Pitung sambil meneguk sisa kopiyang ada digelasnya, “masalah itu nggak baklan selesai kalau disimpan sendiri Mil. Tangan Kamil menggaruk kepala yang tidak gatal, “aku lagi dikejar polisi bang!” sahutnya sambil menghela nafas panjang, “hahahhh, ada- ada aja kamu Mil” bang Pitung membuka pecinya lalu diambilnya korek api dan disulutnya sebatang rokok, “mana ada orang alim kayak kamu dikejar aparat pemerintah alias polisi, emang kamu ngelakuin apa Mil sampe jadi bulan- bulanan mereka”, Kamil menopang kepalanya pada tameh gubuk itu. “ceritanya panjang bang, pokoknya saya nggak
salah, mereka cuma salah paham saja, waktu itu saya baru pulang dari mesjid, di jalan utama kampung kita saya melihat segerombolan remaja yang lagi berjudi dan mineguk minuman syaithon, maka saya tegur mereka, waktu WH datang sayapun ikut lari bang, dan sampe sekarang terus dicari sama mereka. “kenapa nggak lapor saja sama mereka kalau kamu tidak salah, masak orang yang baru pulang dari mesjid ditangkap juga, ya dausa lah itu. “masalahnya waktu itu saya nggak pakai baju koko bang, pakaian
saya sama kayak yang mereka kenakan, jadinya mereka juga mengejar saya”, kembali Kamil menghela nafas panjang, “saya bingung apa yang mesti saya lakukan sekarang bang, hidup saya seperti
hewan buruan” lanjut Kamil. “ya sudah…. Kamu sholad dulu sana minta ampunan dan petunjuk- Nya, biar lebih tenang, malam ini kamu tidur di sini saja, bang mau tutup warung dulu” bang Pitung
bangun dari duduknya.
“bang, kenapa kamu ajk dia nginap di sini?”, “huhsh………., jangan keras- keras” telunjuk bang Pitung di
kedua bibirnya, “biarin aja, biar dia tau, pokoknya aku tak setuju bang kalau dia harus tinnggal di sini”
“ya, terus mau begimana??, kita usir dia??, kan kesian bu, paling Cuma malem ini saja dia menginap di sini”jelas Pitung. “pokoknya aku tak mau tau bang, aku nggak mau rumah kita kedatangan polisi Cuma gara- gara tu orang. ”ya sudah kita tidur aja yuk, besok kita bahaslagi tentang ini” Pitung merangkul bahu istrinya. “yuk bang” istrinya menguap.
Dari kamar sebelah, Kamil mendengar pembicaraan ke dua insane tersebut, dan langsup siap sedia, bukannya mau lomba lari, tapi bersiap kabur untuk yang ke dua kalinya, pertama dari rumah sendiri, yang ke dua dari rumah bang Pitung. Sungguh sial nasibnya, tak ada tempat berteduh yang aman dari ancaman, baik ancaman aparat Negara maupun ancaman dari istri Bang Pitung. Dia kembali merenung dalam perjalanannya, sejenak dia berpikir akan nasibnya untuk bebrapa hari ke depan.
Di ujung jalan ada sebuah gubuk tua yang terbuat dari ubong oen . Langkah kakinya mengarah kesana, suara lolongan anjing tak dihiraunya lagi, suara langkah tapak kakinya berpapasan dengan padang rerumputan.
Dia terduduk di salah satu tameh di gubuk itu, tangannya menopang kepala, dia tak habis pikir kalau istri Bang Pitung tak senang dengan kehadirannya. Padahal Kak Laila (panggilan Kamil untuk istri Bang Pitung) masih kerabat dekatnya, malam semakin dingin, tubuhnya yang kurus kering makin menambah derita hatinya, diapun terlelap meskipun lantai gubuk tak beralaskan tikar, dia menggigil menahan sayupan angina di malam itu, mimpi indahpun menyenyakkan tidurnya

ﭐﭵﮧ
Pitung tak mengeluarkan sepatah katapun dari tadi, dia merasa malu dengan tingkah lakunya terhadap Kamil. sementara istrinya masih terlelap dia mencoba melupakan semua yang telah terjadi, namun matanya sungguh susah menutup, sesekali dia menoleh ke arah sang istri, raut geram menghiasi keningnya akan sikap istrinya , namun dia tak bisa lama- lama menaruh amarah pada Laila, karena cuma istrinya yang menjadi tumpuan hidupnya kini, sejak meninggalnya anak satu- satunya dari pasangan ini. Dia juga tak seharusnya bersuuzzon dengan permata hatinya ini, karena dia tidak tahu pasti apa yang sedang menimpa Kamil.
Dari luar terdengar suara mobil, Pitung merapikan sarung yang sedang dikenakannya untuk tidur. “bu, ada yang datang”sahut Pitung pelan-pelan. Istrinya mengucek-ngucek mata kanannya dengan tangan kanan, “dimana pak?”istrinya menoleh ke arah Pitung. “tu .diluar bu” pitung bergegas ke pintu ketika mendengar ketukan dari luar , pintupun dibukanya. “selamat malam pak!” salah satu dari mereka menyapa Pitung, “malam” sahut Pitung sedikit gugup. “kami dengar salah seorang dari buronan kami lari kesini, Kamil namanya, apa bapak dan ibu bias memberikan keterangna akan keberadaannya?”. Pitung gemetaran, dia tidak bisa bicara apa- apa. “kearah…..” mulut istrinya ditutup oleh Pitung dengan tangannya. “kemana???” salah satu dari mereka sudah menunjukan kebengisan, ditendangnya pot bunga yang ada di rumah Pitung, Mereka berduapun kaget setengah mati. “ke….Sa….. sana pak “ sahut Pitung terlatah- latah sambil menunjuk kearah sebuah gubuk tua yang tak jauh dari rumahnya, tempat persembunyian Pitung, dia hanya menerka- nerka, dia berharap kalau Pitung tidak bersembunyi di situ. Semua aparat itupun bergegas ke mobil, ditancapnya kuat- kuat pedal mobil, tak seberapa lama mereka berhenti di gubuk tua yang baru saja diberi tahu Pitung.“habislah kamu bang kalau Kamil tidak di situ” sahut Istrinya sambil menatap muka Pitung dalam.
“Kawasan terkepung. Keluarlah atau kami yang akan mengeluarkan anda”sahut pimpinannya. Di dalam gubuk Kamil sudah terbangun dan ketakutan setengah mati. Dia mencoba merusak tingkap belakang di gubuk itu yang mulai rubuh dimakan rayap. Sekali dorong tingkappun langsung terjatuh. Dia mulai mengeluarkan kaki kirinya, terus kaki kanannya menyusul,sambil berpegangan pada tameh tempat melekatnya jendela itu.
Ketika dia hendak berlari, para polisi yang melihatnya langsung mengejar, karena jarak yang tak berjauhan timah panaspun bersarang di kaki kiri Kamil. Namun dia seolah tak memperdulikannya, tetap saja berlari ke hutan meskipun dengan terlatah- latah, kini dia telah memasuki kawasan hutan lindung, pepohonan besar terlihat di sekelilingnya.
Polisi kelelahan mengejar Kamil, memang disadari kekuatan Kamil tak bisa dianggap remeh, walaupun terlihat biasa- biasa saja, namun dia adalah mantan atlit lari marathon dari provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang merasa bangganya lagi, dia mendapat posisi ke-tiga di tingkat nasional. Tapi semenjak ketaatannya kepada tuhan, dia sudah tidak dipentingkan lagi, bayangkan saja, dia pernah telat start lari dikarenakan harus mengerjakan shalat ashar, sama seperti kisah Muhammad Ali, petinju jebolan itu, bedanya dia masih tetap eksis di tinju, namun Kamil sudah tak pernah lagi mengikuti lari marathon, karena dia tak mau mengecewakan pelatih cuma karena dia harus beribadah kepada tuhan, bila waktu ibadahnya sekalian dengan waktu lari.
Kamil terduduk di bawah salah satu pohon besar yang ada di situ. Kembali merenung, hingga dia terlelap.


“Ya Allah, selametin si Kamil, hamba tak bisa berbuat apa- apa”. Isak tangisnya membajiri pipi, tak tega rasanya kehilangan orang baik seperti dia, istrinya Cuma mengusap- usap bahunya, “udah lah bang, orang macem dia masih di doain, emang dia yang cari gara- gara bang. Istrinya menyudahi pembicaraan, langsung membuka pintu rumah mereka, berlanjut Pitung di belakangnya.
“kamu benar- benar kejam Laila, padahal dia adalah saudara satu- satunya yang masih kau punya, tahukah kau? Kalau saja dia tak membantumu, maka tak akan pernah kau bisa bernafas sampai hari ini” gumam Pitung kesal.
Akhirnya diapun merebahkan tubuhnya di samping istrinya meskipun kekesalannya masih meradang.

ﭐﭵﮧ
Mak Imah masih tak sadarkan diri, sehingga Kasim dan Ruslan berusaha mencari Tabib untuk menyembuhkan Mak Imah, Tabib dipercaya sama orang kampung karena dulunya dia pernah belajar beberapa bulan sama mantri di kota, walaupun hidupnya sederhana, namun dia begitu dikenal di kampungnya, semua proses penyembuhan yang dia lakukan terhadap orang- orang yang datang kepadanya berasal dari alam, dedaunan dan ranting- ranting pohon dia gunakan sebagai obat untuk menyembuhkan berbagai penyakit, seperti kurap, kudis, sesak nafas, dan lain- lain yang berkaitan dengan penyakit orag kampung.
Tak berapa lama Tabib pun datang, rambutnya yang acak- acakan, kulit gelap, serta peci mereng di kepala menjadi kekhasannya. Tabib pun duduk di samping Mak Imah yang tak sadarkan diri, lalu dia mengambil bungong serune , lalu di usap- usap ketangannya, setelah bunga itu telah halus di tangannya, dia mendekatkan kedua belah telapak tangannya ke hidung Mak Imah, lalu beberapa saat kemudianpun Mak Imah terbangun. Kalau dipikir dengan akal pikiran, hal yang dilakukan oleh Tabib biasa- biasa saja, namun begitulah suasana di desa, banyak yang masih kurang mengerti hal- hal yang mudah seperti itu. “Kami harus bayar berapa berapa bang?” sahut Ruslan, “tak apalah, tak perlu kalian pikir uang bayaran, kalian rawat saja Mak Imah sampai benar- benar sembuh” jawab Tabib, “terima kasih banyak ya bang, sebenarnya kamipun tak punya uang untuk membayarnya” sahut keduanya. Tabib tersenyum, “sudahlah, taka pa, aku pulang dulu ya, assalamualaikum” sahut Tabib, “waalaikum salam” sahut keduanya.
Mak Imah masih berbaring di atas kasur yang sudah kusam, dapat dilihat sebagian warna putih teal berubah jadi hitam, kasur itupun langsung diletakkan di lantai, karena Mak Imah tak punya cukup uang untuk membeli peratah , kasur yang digunakannya pun bukanlah spring bed seperti yang digunakan banyak orang hari ini, kasurnya merupakan kasur dari kapas asli, yang keras, namun Mak Imah cukup bersabar, ini dapat kita lihat dari kesehariaanya dalam menjalani hidup, dia tak pernah menjadi peminta- minta, tetap berusaha semampunya.